Pada tahun 2017 saya pernah mencoba budidaya udang vannamei secara mandiri dengan modal dibawah 50 juta. Saat itu saya mencoba usaha tambak dengan menggunakan tambak kecil ukuran 1000 m2 dengan lebar 33*33 meter. Tiga tantangan utama yang sering dihadapi dalam budidaya udang vaname adalah perubahan iklim, kondisi air tambak yang fluktuatif, dan serangan penyakit. Masing-masing tantangan ini dapat mempengaruhi produktivitas dan keberlangsungan budidaya. Terlebih lagi, apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi pelaku budidaya.
 |
Ilustrasi tambak di Purworejo |
Tambak Udang Vannamei berada di kawasan Desa Gedangan, KecamatanPurwodadi, Kabupaten Purworejo. Letak tambak yang tidak beraturan sangat berpengaruh terhadap kondisi air yang fluktuatif dan serangan penyakit karena biosecurity yang tidak maksimal. Dalam kawasan tambak itu sangat penting yaitu saluran inlet/ pompa bor harus steril dan jauh dari tambak budidaya ditakutkannya resapan air tambak yang dicurigai ada patogen meresap kedalam sumur bor rantai penyakit dikawasan tambak sulit dihindari. Selain itu saluran outlet berperan penting dalam keberlanjutan kawasan tambak jika saluran outlet tidak tersentral maka pengelolaan limbah tidak maksimal dan terjadi penecemaran lingkungan.
 |
Letak tambak yang berada dekat sekali dengan aliran sungai dan rawan banjir |
Biaya untuk investasi tambak mandiri skala mini tidaklah besar hanya kurang dari 100 juta namun resiko yang didaptkan sangat besar sekali karena dengan kawasan tambak yang belum tertata dengan baik. Saya akan tampilkan biaya investasi tambak skala mini beserta dengan biaya variabel (biaya produksi 1 siklus).
Biaya Investasi |
Item | Harga | Nilai Residual | Umur ekonomis (th) | Biaya Penyusutan (Rp) |
Sewa tambak 2 tahun | Rp10.000.000,00 | Rp5.000.000,00 | 2 | Rp333.333,33 |
Mesin Disel | Rp5.000.000,00 | Rp1.666.666,67 | 3 | Rp138.888,89 |
Gubug jaga | Rp3.000.000,00 | Rp1.000.000,00 | 3 | Rp83.333,33 |
Kincir tambak | Rp2.500.000,00 | Rp833.333,33 | 3 | Rp69.444,44 |
Total Investasi | Rp20.500.000,00 | Rp8.500.000,00 | | Rp625.000,00 |
Biaya Produksi |
Item | Harga (Rp) |
Pakan | Rp16.000.000,00 |
Benur | Rp2.200.000,00 |
Maintenance tambak | Rp500.000,00 |
Maintenance disel | Rp500.000,00 |
Kapur dan Probiotik | Rp1.500.000,00 |
Biaya panen | Rp900.000,00 |
Lain-lain | Rp1.000.000,00 |
Total | Rp22.600.000,00 |
Biaya Peneriman |
Item | Harga (Rp) |
Panen total udang | Rp74.100.000,00 |
Total Keuntungan |
Item | Harga (Rp) |
Panen Total udang | Rp74.100.000,00 |
Biaya Produksi | Rp22.600.000,00 |
Biaya Penyusutan | Rp625.000,00 |
Pendapatan Bersih | Rp50.875.000,00 |
Setelah dilihat sangat menggiurkan memang ya karena output hasil panen udang banyak tengkulak yang mencari dengan penawaran harga yang bervariasi. Saya waktu pertama kali budidaya disiklus pertama langsung untung besar balik modal dengan FCR 1.10 , SR 90%, Tonase 950 kg DOC 77. Nah pada waktu mau putar siklus kedua terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan saluran outlet penuh alhasil tambak tidak bisa membuang air hujan yang tertampung dan itu berakibat terhadap kondisi udang. Setelah curah hujan reda kondisi infrakstruktur tambak banyak mengalami kebocoran. Seminggu setelahnya saya cek kondisi udang mogok makan dan terjadi kematian indikasi ya karena udang kekurangan mineral akibat air tambak dipenuhi oleh air hujan sangat bersifat asam. Setelah saya berfikir ulang akhirnya tambak saya bongkar dan udang masih di 3 gr waktu itu sudah memasuki DOC 40 dan saya jual laku Rp 20.000 ekor/kg ke tengkulak lokal dan total udang ada 120 kg boncos memang sudah rugi waktu, biaya dan tenaga. Ketiga alasan itulah yang mendasari saya untuk memutuskan tidak melanjutkan usaha tambak udang pada siklus ketiga uang sudah berjalan 1 bulan ini ya karena jarak yang sangat jauh antara Klaten dan Purworejo tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.
Saprotam ditambak saya sangatlah sederhana namun dibelakangnya banyak mengintai permasalahan yang ada. Hal yang paling ditakutkan adalah ketika terjadi mati mesin pada malam hari hal itu sangat berbahaya karena udang sangat membutuhkan oksigen yang berlimpah pada malam hari. Untuk sarana produksi tambak saya menggunakan Kincir type long arm dengan penggerak mesin disel berbahan bakar solar. Sangat merepotkan memang mengurusi yang namanya kincir ini banyak rewelnya dan biaya servis lumayan mahal. Ada lagi yang lumayan menguras kantong yaitu plastik mulsa untuk melapisi tambak agar air bisa disimpan dan sangat rawan kebocoran. Memang bisnis tambak udang itu harus totalitas tidak boleh setengah-setengah karena untuk keberlanjutan itu harus mengorbankan banyak biaya. Mengenai hambatan dalam pengelolaan kualitas air akan saya bahas nanti dilain waktu karena membutuhkan banyak sekali referensi. hehehe.. berikut saya tampilkan tambak saya ketika panen
https://www.youtube.com/watch?v=u6ADeW32Qjo&t=328s&ab_channel=HendrawanBayuAji
 |
Type kincir dengan model long arm |
.jpeg) |
Jembatan untuk pelatan ancho harus berada di belakang kincir |
Kalau dibilang kapok sih ya kapok bukan karena kehilangan banyak uang tapi menyesal tidak melakukan riset terlebih dahalu mengenai tata letak lokasi. Saya waktu itu hanya ingin ikut-ikut teman kuliah saya yang memulai usaha ini namun lambat laut teman saya hanya bertahan selama 2,5 tahun. Saya harapannya kepengin budidaya udang tapi dengan sistem yang berbeda ya karena masih penasaran dengan bisnis budidaya udang dengan pengalaman yang ada bisa dikembangkan lagi..
Referensi :
- https://delosaqua.com/id/tantangan-budidaya-udang-vaname/
2 komentar
modal ga terlalu besar sebenarnya tapi resikonya besar sekali
BalasHapusSekarang BEP bisnis udang sangat kecil karena harga udang Indonesia masih murah di pasar ekspor dan biaya produksi semakin tinggi
BalasHapusPosting Komentar